Senin, 17 November 2008

MENYIKAPI SKB EMPAT MENTERI

















Pemerintah dalam beberapa waktu yang lalu telah mengeluarkan SKB empat menteri tentang penentuan upah buruh yang ditandatangani oleh Erman Suparno sebagai Menaker, Fahmi Idris dari Departemen Perindustrian, Mari Pangestu dari Departemen perdagangan dan Mardiyanto sebagai Mendagri। SKB tersebut menyatakan bahwa penentuan nominal UMR bagi para pekerja hanya dilakukan oleh bipartit ,yakni hanya melibatkan pihak pengusaha dan serikat pekerja / buruh. Tentunya ini merupakan suatu babak baru yang akan berpengaruh terhadap perkembangan perusahaan sebagai pemberi kerja dan taraf hidup buruh sebagai penerima upah. Pemerintah yg selama ini bertindak sebagai “ penengah “ dalam penentuan UMR menurut SKB tersebut sudah tidak dilibatkan lagi.






















Bagi kalangan pengusaha, pemberlakuan SKB ini adalah merupakan angin segar untuk menjaga eksistensi serta perkembangan perusahaan dengan adanya peluang untuk menekan biaya produksi dari sektor pembayaran upah Sementara itu bagi kalangan pekerja atau buruh, SKB ini ditanggapi dengan dingin. Ditengah masih berjalannya peraturan ketenagakerjaan yang masih berpihak kepada kalangan pengusaha, seperti masih diberlakukanya sistem kontrak, outsourcing, dan sebagainya, SKB tersebut tentunya akan semakin mempersempit dan menjauhkan para pekerja untuk mendapatkan suatu taraf kehidupan yang lebih baik. Memang benar, dalam melakukan penentuan besaran UMR , pekerja/ buruh masih dilibatkan. Akan tetapi apakah benar metode ini akan dapat berjalan secara efektif ?.Sebagaimana kita ketahui bahwa selama ini posisi pekerja masih berada di bawah. Kita belum pernah mencapai tingkat “ balance position” antara pihak pengusaha dan pekerja. Masih banyak sekali perusahaan yang belum memiliki serikat pekerja, kalaupun ada, belum tentu serikat tersebut mampu dan berani berbicara untuk menyalurkan aspirasi dalam pencapaian hak hak pekerja. Bahkan tidak sedikit para buruh yang memiliki prinsip “ dari pada nganggur “, mendapat upah berapapun diterima. Hal ini terkait karena masih banyaknya angka pengangguran di Indonesia.


Dengan keadaan seperti itu dikhawatirkan SKB ini akan dianggap sebagai alat legitimasi oleh para pengusaha untuk dapat menerapkan upah yang serendah rendahnya bagi para pekerja/ buruh. Apabila ini terjadi , masa depan para buruh dapat dipastikan semakin tidak menentu. Apalagi ditengah melambungnya biaya hidup selama ini. Kualitas kehidupan para buruh akan menurun. Banyak buruh yang tidak mampu memberikan asupan gizi yg cukup bagi keluarganya, semakin minimnya standar kesehatan , rendahnya tingkat pendidikan, buruknya keadaan lingkungan dan sebagainya.. Kehidupan suatu keluarga dalam tingkatan standar yg rendah tentunya akan menciptakan mutu generasi yang rendah pula. Dan ini secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa ini. Dengan kata lain penetapan SKB ini juga mempertaruhkan masa depan bangsa kita .

Alasan yang selama ini dipakai pemerintah adalah untuk menjaga kelangsungan perusahaan, menghindari pemutusan hubungan kerja dan untuk menumbuhkembangkan iklim investasi. Alasan alasan tersebut memanglah suatu alasan yang bisa di pahami dan masuk akal. Akan tetapi tidak seharusnya semua itu harus dibebankan kepada kalangan pekerja. Itu adalah alasan klasik yg selama ini sering dipakai untuk menggebiri hak hak pekerja . Besaran UMR yang selama ini hasil mediasi dari pemerintah saja belum mampu menciptakan expetasi yg cukup untuk dapat mewujudkan suatu taraf kehidupan yang layak bagi para pekerja. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar bila akhir akhir ini mulai timbul aksi unjuk rasa dari kalangan buruh untuk menentang SKB tersebut. Pemerintah selaku regulator justru kurang peka dan seakan akan tuli melihat kehidupan para buruh yang selama ini masih memprihatinkan.

Kita sebagai kaum pekerja tentunya berharap suatu saat akan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Pemerintah selaku pengambil kebijakan mampu menciptakan peraturan peraturan yang lebih seimbang antara kepentingan pengusaha dan buruh. Sementara kalangan pengusaha harus dapat menganggap bahwa buruh adalah merupakan mitra kerja, bukan dianggap sebagai sapi perah dan hanya mengedepankan profit perusahaan tanpa diimbangi dengan adanya pemenuhan hak hak pekerja. Dan tentu saja kedua hal diatas harus diimbangi dengan peningkatan kualitas, produktivitas dan profesionalisme para pekerja. Apabila ketiga hal tersebut dapat berjalan secara selaras, saya yakin tidak akan lagi muncul permasalahan permasalahan ketenagakerjaan yang selama ini masih menghantui sebagian besar kaum pekerja/ buruh di Indonesia.

Artikel saya ini juga dimuat di detik.com edisi 17/11/08 ( opini pembaca)

Tidak ada komentar: