Senin, 13 Oktober 2008

LIGA SUPER YG BELUM SUPER

Dua bulan lebih semenjak bergulirnya liga super Indonesia, sudah banyak kita dengar dan saksikan kejadian yg sungguh memalukan yg memang sudah melekat pada dunia persepak bolaan nasional kita. Dari mulai mengamuknya bobotoh Persib saat timnya dikalahkan Persija di stadion Siliwangi, kasus pemukulan pelatih Persipura Raja Isa yg dilakukan oleh pengurusnya sendiri, pengejaran dan pemukulan wasit yg dilakukan oleh pemain dan official Arema saat dikalahkan Persiba dan yg terakhir rusuhnya pertandingan PSM vs Persela sehingga pertandingan sempat dihentikan selama 60 menit di Makassar. Bahkan pada saat PSSI menggelar tournamen bertajuk piala kemerdekaan bulan Agustus kemarin terjadi insiden yg sangat mencoreng citra persepakbolaan nasional kita di mata internasional ketika pada saat partai final pelatih Libya mengaku di pukul oleh pelatih kiper timnas kita yg mengakibatkan mereka melakukan aksi walk out di babak kedua dan Indonesia akhirnya menjadi juaranya. Dan itu terjadi pada saat PSSI berjuang untuk mempertahankan statusnya pada FIFA.


Yah.. begitulah, dengan format dan sistem kompetisi kita yang saat ini boleh dikatakan paling profesional sepanjang sejarah semenjak jaman perserikatan sampai terakhir liga Indonesia tahun lalu, rupanya budaya , mentalitas dan kelakuan dari insan insan sepakbola di negeri kita masih sama saja = amatir. Dari mulai suporter, pemain, wasit , pengurus dan officialpun semuanya ikut terlibat dalam kejadian kerusuhan yg masih sering terjadi sampai saat ini. Padahal dampak dari kerusuhan itu sangatlah merugikan klub itu sendiri, seperti partai usiran, jadwal tertunda, denda dll.


Sebetulnya perhelatan kompetisi edisi 2008 /2009 sudah dibuat sedemikian rupa oleh PSSI seprofesional mungkin. Pesertanya adalah klub dengan prestasi yg telah dijaring dikompetisi sebelumnya, selain itu klub peserta juga harus memenuhi syarat yg ditentukan oleh Badan Liga Indonesia ( BLI ), baik dari segi AD ART, kepengurusan, pendanaan , dan infrastruktur stadion yg dimiliki oleh klub tersebut.


Krisis Keuangan
Yang juga semakin marak saat ini banyak klub peserta liga super yang mengalami krisis keuangan ditengah jalan. PSIS Semarang yg terus terusan dikejar orang pajak karena punya tunggakan 2 M .Sehingga untuk melawat ke Jakarta saja harus menggunakan bus yg tentu sangat menguras stamina para pemain. Kemudian gaji pemain yg belum dibayar yg dialami oleh juara bertahan Sriwijaya FC dan Persitara Jakarta Utara. Persik Kediri juga demikian bahkan bendaharanya sampai melakukan usaha bunuh diri karena terlilit utang pada pemkot Kediri. Semenjak kran APBD dikurangi memang banyak klub yg belum siap dan terkesan kelabakan cari utang sono sini untuk mencukupi kebutuhan kompetisi. Karena memang sebagian besar klub kita prosentase terbesar sumber pendanaannya selama ini dari APBD ditambah sponsor dan tiket.

Memang sangat ironis jika kita pikirkan, sebagai contoh Persija yg untuk menggaji Bambang Pamungkas, Ismed Sofyan, Ebanda Herman , Aliyudin dan Agus Indra K saja total setiap bulannya dana APBD yg dikeluarkan lebih dari 500 juta, belum untuk pemain lain, pengurus , pelatih dan biaya operasional lainnya. Sedangkan di sisi lain masih banyak sektor lain yg harus diperhatikan oleh pemda seperti jalan rusak, pemukiman kumuh, banjir dll.


Melihat kondisi semacam ini saya kira Liga Super yg berjalan saat ini baru sebatas format yg diakui memang mengalami kemajuan yg signifikan dibanding format format sebelumnya. Namun masalah masalah klasik seperti kerusuhan, fair play dan pendanaan serta eksistensi klub rupanya masih melekat dan terbawa sampai saat ini. Jadi memang benar kalau liga super kali ini belum super.


Artikel saya ini juga dimuat di detik.com ( suara pembaca)




1 komentar:

hanispanji mengatakan...

tes..., sori itu udh agak ed beritanya...